Wednesday, August 13, 2008

[KFTS]: Kebaikan Akan Tetap Jadi Kebaikan, Jika Kita Menjaga Sabar


Opik terlihat lesu, sementara sedang berlangsung acara Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Masjid lingkungannya. Acara itu dikelolanya bersama rekan-rekan selingkungan. Ada kekecewaan meliputi alam pikirannya.

Di sampingnya, Deden tampak khawatir dengan keadaan rekannya ini.

"Kenapa kamu Pik? Kok kurang semangat?" tanya Opik.

"Entahlah! Aku agak kesal dengan ketidak optimalan ini."

"Maksud kamu acara ini?"

"Iya, Aku pikir kalau kita benar-benar melaksanakan komitmen, acara ini tak akan sesepi ini. Acara ini tak akan sesemerawut ini. Dan acara ini tidak akan dengan perencanaan yang masih mentah. Rasanya aku ingin lari meninggalkan ini semua dan mengucilkan diriku saja. Sebagai Ketua Panitia, aku malu sekali."

"Sabar Pik! Kamu jangan berputus asa dan meninggalkan tanggung jawab begitu saja. Jangan seperti orang yang ditelan ikan paus!"

"Ikan paus?"

"Kamu ingat kisah Nabi Yunus as. ?"

Opik terdiam sejenak, lalu serta-merta mengerti isyarat temannya ini.

"Pik, Kebaikan akan selalu tetap mejadi suatu kebaikan, jika kita bisa menjaga sabar kita. Niat dan usaha yang baik akan tetap menjadi baik, kalau sabar kita tidak putus di tengah jalan. Karena amal kebaikan menjadi tidak ada nilainya, jika kesabaran kita runtuh."

"Iya, aku mengerti. Astaghfirullah! Seharusnya aku bersyukur dengan apa adanya acara ini. Walau dengan jumlah yang kecilpun yang datang. Walau kurang profesionalnya kita mengelola ini. Maafkan aku Den!"

"Aku juga minta maaf, jika tidak bisa membantu lebih banyak untuk acara ini. Kita ambil pelajaran yang baik dari kejadian ini. Apapun itu, akan menjadi bahan evaluasi yang baik dan akan kita perbaiki dan benahi kembali. Ibarat orang shalat. Jika batal wudhu'nya, maka ia harus buru-buru memperbaharui wudhu'nya dan mengulang shalatnya."

"Insya Allah untuk kesempatan berikutnya, amunisi kita telah matang tanpa kekurangan dan kita siap mengulang acara serupa dengan jauh lebih baik lagi."

"Insya Allah! Aamiiin!!!"

Tuesday, July 29, 2008

[KFTS]: Ilmupun Bisa Menjadi Bak Harta yang Sia-sia


"Wah...! Ustadz Ramadhan tadi benar-benar menggugah yah ceramahnya. Setelah memperhatikan beliau, terlihat sekali ketawadhuan dan karomah yang kuat akan ketinggian keilmuan beliau. Bukan aura loh, tapi kemuliaannya. Aura cuman milik yang percaya dukun-dukun. He he he!" kata Maman.

"Begitulah kemuliaan taqwa terpancar, jika ilmu dipraktekkan secara amanah dan istiqomah." tambah Syams.

"Pantas saja kedudukan seorang yang berilmu atau terpelajar lebih tinggi di atas seorang dermawan yang menyedekahkan hartanya. Walau masih di bawah orang-orang yang berjihad sich, tapi lumayanlah."

"Iya. Tapi ilmu bisa menjadi sia-sia, sama layaknya harta yang sia-sia. Bahkan kalau aku pikir justru lebih rendah, karena amanahnya yang lebih berat. Wallahu a'lam!"

"Oh ya? Bukankah ilmu adalah penjaga?"

"Ia akan menjadi penjaga kalau yang diamanahkan memiliki keikhlasan. Tidak bermaksud untuk dilihat orang, atau bahasa kasarnya pamer, dan maksud-maksud duniawi lainnya. Ini adalah sifat munafik, bahkan sampai ke sifat syirik, karena menuhankan diri sendiri. Ibarat orang berilmu tapi imannya nol, maka amalnyapun nol. Jika imannya setengah, maka amalnya setengah. Jika imannya penuh, maka amalnya penuh. Jadi mau seberapapun ilmu itu, banyak ataupun sedikit, jika imannya buruk, maka buruk pula amalnya. Maka ilmunya yang bertumpuk-tumpuk dan bertingkat-tingkat itu menjadi sia-sia."

"Aduh kenapa berat sekali yah menjadi seorang yang berilmu?"

"Makanya ilmu itu harus membuahkan manfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang sekitarnya. Seperti halnya harta, ilmu juga harus disedekahkan. Jangan ditahan dan disimpan di belakang punggung. Manfaatnya harus diputar, maka hasilnya berlipat-lipat, bahkan menjadi kekal seperti halnya amal jariyah, karena diteruskan tidak terputus bagi yang mengambil manfaatnya dan menyebarkannya."

"Walau berat, ternyata amalannya berlipat-lipat. Aku jadi semangat mencari ilmu. Moga Allah memudahkan aku mendapatkan ilmu dan menghindarkanku dari perbuatan yang menyia-nyiakan rizkynya itu. Moga Ilmu-ilmu yang barakah itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang amanah."

"Aamiiin!!! Maka kita harus sama-sama ingat, bahwa di hari hisab nanti, ilmupun bukan penolong seperti halnya harta kita. Bekal kita justru adalah amalan-amalan yang didapat dengan ilmu itu. Maka banyaknya ilmu dan semakin tingginya tingkat keilmuan kita, itu semua belum tentu menyelamatkan kita. Kecuali orang-orang yang mengamalkannya secara ikhlas kare Allah semata."

Sunday, July 27, 2008

[KFTS]: Bersabarlah! Maka yang lain pun bersabar


"BISA GAK SICH, GAK BIKIN ORANG MARAH!!!" hardik Maya sambil meninggalkan Mutiah dan Rissa.

"Iiih!!! Kenapa sich tuh orang pake marah-marah segala?" sebal Rissa.

"Kamu sich belum mengembalikan Laptop dia sudah sejak lama. Eh malah sekarang kamu juga yang rusakin. Ya pantas saja lah Ris."

"Iya aku tahu aku yang salah. Tapi khan jangan marah-marah keras-keras seperti itu. Bikin aku tambah malu dan kesal saja. Sabar kek! Khan si Maya terkenal sabarnya. Kenapa sekarang gak sabaran?"

"Emang kalau dia sabar, dengan begitu kamu memanfaatkan kesabarannya itu supaya kamu bisa mengulur-ulur waktu meminjam Laptopnya? Dengan begitu Maya gak protes, begitu? Maya yang penyabar begitu juga punya perasaan Ris! Apalagi sampai tahu kalau Laptop yang ia dipinjamkan malah jadi rusak. Apa dia masih bisa maklum? Coba deh kamu pikir kalau kamu berada di posisi Maya."

"Aku pasti lebih sabar lagi."

"Yang benar? Aku tak percaya!"

"Ya aku usahakan! Namanya juga teman."

"Baiklah! Kalau kamu memang bisa lebih sabar dari Maya dan kamu adalah temannya, kenapa tidak kamu saja yang bersabar supaya si Maya juga bisa bersabar?"

"Hah? Kok aku yang harus bersabar?"

"Kalau kamu mau si Maya bersabar dan tidak marah-marah, maka seharusnya kamulah yang harus memulai untuk bersabar, menjaga diri supaya Laptop yang kamu pinjam dikembalikan tepat waktu dan tidak sampai rusak."

"..." diam Rissa sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Iya... Kamu benar Tia... Aku terlalu egois. Berharap orang lain berbuat baik dan berkorban kepadaku. Sedangkan aku mencoba untuk berbuat baik dan berkorban kepada mereka saja belum bisa."

"Ris! Kita ke rumah Maya sore ini dan minta maaf sama dia, Ya?" kata Mutiah sambil memeluk Rissa.

Rissa mengangguk.

Wednesday, July 09, 2008

[KFTS]: Motor Curian dalam Al-Qur'an?


Terdengar keras pintu masuk dibanting kuat-kuat. Mendengar itu Bu Dedeh bertanya-tanya dalam hati: "Siapa gerangan itu?"

Ternyata Tabrani, anaknya yang baru pulang dari kantor.

"Kenapa Sep? Kok kamu kelihatan gusar begitu? Apalagi , apa gak malu didengar tetangga, pintu itu kamu banting keras-keras?"

"Maaf Bu. Aku kena musibah. Motorku dicuri orang di kantor. Semua orang di kantor dan petugas satpam juga tidak tahu menahu. Aku sudah lapor polisi terdekat, walau tahu itu percuma. Aku benar-benar kalut saat ini. Apalagi kreditannya belum selesai. Aduhhh! harus cari di mana yah!!??? Sepertinya aku benar-benar ingin menghabisi orang yang curi motorku itu, jika beruntung ketemu nanti. Awasss!!!" cerita Tabrani tak ada ujungnya.

Ibunya melihat kegusaran anaknya berlebihan. Ingin rasanya memeluk dan mengelus dadanya. Namun ia pikir, saat ini ia tidak bisa menghadapi anaknya dengan tenang. Untuk apa menghadapi sebuah batu.

"Coba kamu cari motormu di Al Qur'an!" seru ibunya sambil berlalu kembali ke kamarnya, sambil berharap ada air yang bisa menghancurkan batu itu.

"Ibu ngomong apa seh? Tidak bisa lihat aku lagi kesal apa? Kok bisa-bisanya ngelantur seperti itu." bisik hati Tabrani panas membara.

*****

Beberapa hari kemudian, Tabrani keluar kamar dengan tampak cerahnya. Lalu ia menghampiri ibunya, sambil menyematkam ciuman sayang didahi perempuan tua itu.

Leila adiknya yang berada di situ hanya terheran-heran. "Ketemu jodoh kali?" bisik otaknya.

"Terima kasih ya Bu! Sudah menjadi ibu yang terbaik, terbaik dari segala perempuan!"

"Gombal! Kamu kenapa seh?" tanya Bu Dedeh yang masih memerah pipinya.

"Aku sudah menemukan motorku!"

"Oh yah? Alhamdulillah! Ketemu di mana?"

"Ya di Al Qur'an lah Bu. Khan ibu yang bilang."

Bu Dedeh tersenyum cerah.

"Motor? Di Al Qur'an? Emang bisa? Di mana?" tanya Leila.

"Di ayat-ayat kesabaran, di ayat-ayat keikhlasan, di ayat-ayat bahwa harta itu hanya pinjaman. bukan milik kita, tapi milik Allah!" jawab Tabrani sambil tersenyum kepada adiknya.

"Ooo gitu toh! Baguslah! Aku udah lama khawatir dengan keadaan Aa."

"Iya La! Jangankan motor, kamu dengar tidak berita di teve kemarin. Ada orang yang membunuh penjual pulsa, lantaran pulsa yang ia beli tidak kunjung masuk. Padahal pulsa itu hanya seharga Rp. 10.000,-. Tapi bisa mengubah orang jadi ganas dan lupa diri. Makanya kita harus belajar bersabar dan ikhlas! Apalagi hidup di negara ini yang terasa semakin sempit saja." kata Bu Dedeh kepada anak-anaknya yang tercinta.

Tabrani dan Leila mengangguk paham.

Friday, May 30, 2008

[KFTS]: Manusia Bermanfaat dalam Ibarat


"Pep! Kenapa kamu lanjut kuliah lagi seh! Jangan belajar melulu. Kapan beramalnya? Kapan membangun negara ini?" tanya Chandra tiba-tiba, setelah mengetahui sahabatnya Apep akan terbang ke Malaysia untuk melanjutkan ke S2.

Apep menghela nafas sesaat. Pertanyaan ini sepertinya selalu berulang-ulang dari mulut yang satu dan dari mulut yang lain. Seperti tak henti-hentinya menghalangi kehijrahannya di negeri jiran. Kesedihan tergurat dalam rautan wajah. Kenapa orang lain tidak merestui niatnya?

Sesaat beristighfar, lalu ia pun menjawab dengan penuh kehati-hatian.

"Ndra, Aku semata-mata bukan dengan serta-merta meninggalkan amal. Dan bukan pula lari dari tanggung jawab. Aku melanjutkan kuliah justru untuk memperkuat potensi."

"Iyah! Tapi kalau ilmu itu tidak segera kamu pakai, nanti kamu seperti buah yang busuk. Karena kamu tidak mengamalkannya dengan segera. Justru tidak bisa memberikan manfaat. Mana ada yang mau memetik!"

"Kalau begitu, kenapa tidak dengan paralel?"

"Pararel?"

"Ibarat pohon dengan buah yang matang lagi molek. Yang tidak bisa diam untuk memberikan manfaat. Yang tidak bisa diam untuk segera dipetik. Yang kalau sudah dipetik akan berbuah lagi di suatu saat. Bahkan jika Allah mengijinkan, setiap dipetik, ia akan berbuah lagi dalam sekejap!"

"Hah?"

"Aku menjemput ilmu bukan berarti aku berhenti dari beramal. Justru setiap aku mendapatkan ilmu, aku harus segera mengamalkannya. Tidak aku tumpuk-tumpuk hingga ilmuku jadi usang. Insya Allah, aku kuliah bukan berarti mengurangi amal. Justru menambah amal. Setiap aku mendapatkan satu pengetahuan, maka aku harus bersegera mengamalkannya.Maka dengan kepergianku untuk kuliah di negeri Malaka, bukan berarti aku tidak ingin membangun negeri. Justru sambil aku kuliah, sambil aku beramal. Walau amalan itu hanya berupa karya tulisan sekalipun.Setidaknya bermanfaat, dan insya Allah berpengaruh besar."

Chandra mengangguk paham.

"Baiklah sahabat! Sekarang aku mengerti dan tidak akan memaksakan pertanyaan itu lagi. Tapi kamu harus ingat akan kata-katamu tadi"

"Iya Ndra! Mohon teguran, bimbingan dan penjagaannya!"

"Insya Allah! Sama-sama kita Pep!"

"Iyah."

"Mudah-mudahan kamu seperti buah matang lagi molek itu, yang isinya bagai nikmat surgawi. Kalau kamu jadi seperti buah yang molek tapi di dalamnya kopong bahkan berulat. Aku tak sudi mengikutimu. Dan mudah-mudahan aku juga tidak seperti itu."

"Naudzubillah mindzalik! Moga Allah melindungiku dan kita semua dari kejahilan itu! Mohon doanya!"


(Begitu berat menulis kisah ini. Moga saya tidak bermaksud menggurui, namun berbagi. Moga kita termasuk orang-orang yang selalu memperbaiki diri dalam Ilmu dan Amal)

Thursday, May 15, 2008

[KFTS]: Yang Termahal dalam Do'a


Setelah shalat isya' tampak Fadli khusyu' sekali berdo'a. Hal itu mengundang perhatian seorang tua untuk mendekatinya.

Setelah Fadli berdo'a, ia lalu menegurnya dan bertanya.

"Apa yang kamu pintakan, sehingga engkau begitu khusyu'nya berdo'a?"

"Aku meminta kepada Allah supaya aku dimudahkan untuk menjemput rejeki yang melimpah, Kek! Di masa yang serba sulit ini, semua seakan serba mahal untuk aku memenuhinya."

" Moga para malaikat mengaminkan do'a hambanya yang teraniaya ini. Moga Allah mengijabah do'amu, Nak!"

"Aamiiin ya Allah! Ya Rabbal 'alamiin!"

"Kamu mau tahu apa saja sebenarnya yang termahal, selain kesulitanmu yang kecil itu?"

"Adakah yang lebih mahal lagi?"

"Ada!"

"Apa itu, Kek?"

"Anugerah yang termahal adalah Hidayah dan Iman yang semakin menebal. Rejeki yang termahal adalah Ketentraman Jiwa. Berkah yang termahal adalah Keteguhan Hati. Bekal Hidup yang termahal adalah Kegemaran akan Ilmu Din dan Ibadah yang Bertambah lagi Berkelanjutan. Amalan yang termahal adalah Taubat yang diringi dengan Kejujuran akan Kesalahan dan Keistiqamahan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Warisan termahal adalah Akhlaq Mulia. Akhlaq yang termahal adalah sikap Tawadhu' lagi Hanif. Perlindungan termahal adalah Perlindungan dari sifat Dengki lagi Tinggi Hati. Penjagaan termahal adalah Silaturahim dan Persaudaraan. Jihad termahal adalah Jihad terhadap Diri Sendiri. Hadiah termahal adalah Ridha Allah dan Perjumpaan denganNya. Kenapa tidak kau pintakan itu, selain yang kau pintakan tadi?"

Fadli terdiam. Serta merta ia pun terisak.

"Ya Allah! Kenapa aku selalu hanya meminta materi dan materi saja? Padahal ada yang lebih mulia lagi penting dari itu semua. Apa jadinya dengan materi, tapi tanpa itu semua. Dan apa jadinya tanpa materi, tapi tanpa itu semua."

"Semoga Allah sudi mencurahkannya merata kepada dirimu, Nak!"

Sunday, March 23, 2008

[KFTS]: Kalo Gede Mo Jadi Apa, Nak?


Hanan, yang berumur 10 tahun, tampak muram sekembali dari bermain dengan teman-temannya di sore hari.

Di rumah, orangtuanya pun merasa khawatir, karena raut wajahnya tidak seperti biasanya.

"Nan, Kamu capek ya, Nak?" kata Ibu.

"Enggak kok Bu...!"

"Masak anak sholeh lesu gituh? Harusnya ceria dong!" ujar Ayah.

"Mmmhh.... Ayah!... Apa jadi Koki itu cita-cita yang gak tinggi yah?"

"Memangnya kamu nanti gede mau jadi Koki?"

Hanan terdiam tambah muram.

"Jadi Koki juga bagus kok, Nak! Sama tingginya dengan cita-cita yang lain. Apalagi jadi Koki yang sholeh. Yang selalu masak masakan yang halal, baik dan enak..!" kata Ibu sambil mengelus bahu Hanan.

"Tadi Pak Agus di sebelah nanya... Kalo udah gede Hanan mau jadi apa?... Terus Hanan bilang mau jadi Koki... Terus Pak Agus dan teman-teman tertawa... Kata Pak Agus kalau cita-cita harusnya yang tinggian lagi...! Kok jadi koki?...Itu gak sukses namanya!"

"Hanan... Sukses itu ukurannya bukan hasilnya... Tapi profesional melakukan pekerjaan tersebut!" kata Ayah.

"Profesional...?"

"Ih, Ayah neh! Mana ngerti dia apa itu profesional!"

"Mmmmh... Gimana yah bahasa mudahnya?... Gini Nak...! Kalau kamu menjadi Koki dengan sungguh-sungguh dan dengan usaha yang baik... Justru sama tingginya dengan cita-cita yang lain... Dan bahkan mengalahkan semuanya kalo kamu sholeh..."

"Iya Nak, Ayah dan Ibu tidak nuntut kamu harus jadi apa... Ayah dan Ibu pasti mendukung kamu apapun itu... Yang penting bagi kami, kamu jadi anak yang sholeh... Itu saja yang menjadi perhatian Ayah dan Ibu..."

"Iya Nan, Kamu sukses dunia dan sukses akhirat, itu syukur alhamdulillah... Tapi kalaupun di dunia tidak sukses, yang penting kamu sukses akhiratnya! Itu saja Ayah dan Ibu sudah bersyukur sekali dan bangga dengan diri kamu!"

Hanan mengangguk.

"Kamu ngerti, Nan? Apa yang tadi Ayah bilang?" tanya ibu.

"Dikit-dikit..."

"Tuh khan Ayah, pake bahasa yang mudah dikit dong!"

"Nngggg!" Ayah menjadi kebingungan.

"Gak apa-apa kok, Bu! Mungkin maksudnya yang penting Hanan jadi anak yang sholeh khan? Terus harus bersungguh-sungguh!"

"Subhanallaah!!! Sudah sholeh, anak ibu cerdas juga yah! Kayak Ibunya! Hehehe..." ujar Ibu sambil melirik ke Ayah.

Ayah pun hanya bisa "memble".