(Paparan apa adanya)
Lihat QS. 6: 1-3
Sesekali kita sering mendengar kabar yang menggembirakan tentang seseorang yang baru masuk Islam. Di depan jamaah ia membaca syahadat sebagai niat dan persaksiannya mengenai keesaan Allah dan kerasulan nabi.
Sering timbul pertanyaan, bagaimanakah proses ia memilih dan memeluk Islam? Hidayah, petunjuk dari Allah ialah awal dari asal mengapa ia memutuskan hal tersebut. Kita tahu, bahwa Allah swt memberikan petunjuk bagi seseorang yang ia kehendaki dan petunjuk itu merupakan untuk diri pribadinya sendiri. (QS. 39: 41)
Hidayah ini bagi tiap-tiap insani berbeda-beda bentuknya dan berbeda-beda ceritanya. Namun dari kesemua itu peran hidayahlah yang menumbuhkan benih-benih cinta kepada Allah. Dari benih-benih cinta ini bersemai keyakinan dan ketakutan kepada Allah. Dari kesemua inilah syahadat menjadi sempurna.
Kembali kepada sang mu’allaf tadi, setelah ia mengucapkan syahadat, saat demi saat dilalui, tahu makin tahu ia pelajari, makin kencang amalannya, makin mencolok perubahannya, makin tenang dan bahagia ia menjalani kehidupan keislamannya. Sungguh menakjubkan kecepatan perkembangan yang ia alami jika dibandingkan dengan muslimin kebanyakan.
Bagaimanakah dengan diri kita, yang beberapa lebih banyak, yang Islam dikarenakan faktor turunan dari orang tua yang muslim. Sering kita tidak menyadari atau memahami hikmah dari syahadat ini. Kita lupa hingga melangkahi rukun pertama dari rukun islam ini. Akibatnya tiap-tiap amalan kita, terutama rukun-rukun islam berikutnya, terasa tidak nikmat dijalani, tidak khusyuk, hanya asal melakukan, dan terkadang hanya ikut-ikutan tanpa kesadaran dan pemahaman.
Kita tidak bisa menghadirkan Allah dari tiap-tiap amalan perbuatan dan perilaku yang kita kerjakan dalam kehidupan disetiap saat, sehingga sering terjadinya kekhilafan yang mungkin disadari maupun tidak disadari. Padahal Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui apa yang kita kerjakan dan apa yang ada di benak hati kita.
Kadang ada yang shalat takut dimarahi oleh bapaknya, tapi ia tidak takut bahwa sebenarnya Allah sedang mengamatinya. Atau terkadang ada yang shalat di depan teman-temannya, supaya ia dipandang baik dan dipuji oleh temannya atau takut kalau ia tidak shalat ia dicap jelek oleh teman-temannya, tapi ia tidak takut bahwa sebenarnya Allah mengetahui isi niatnya itu di dalam hatinya. Dan ada pula yang merasa dirinya paling baik, bersih, dan benar menggurui teman-temannya, padahal Allah mengetahui sebenarnya apa yang ada di hatinya dan apa yang ia kerjakan selama ini tidak sebanding dari apa yang keluar dari mulutnya.
Kalau agama diibaratkan sebuah bangunan, maka syahadat ialah pondasi tumpuan dari segala amalan, sholat ialah tiang penegak mengakukan keyakinan, puasa ialah selubung dinding sebagai pelindung/ benteng dan pengendali dari segala nafsu/ hasrat, zakat ialah atap yang menaungi, meneduhkan dan mensucikan kita dari segala keburukan dan keegoan, haji ialah perhiasan ornamen (finishing) dari kesempurnaan agama kita.
Oleh karena itu kita sempurnakan pengetahuan ketauhidan kita. Kita cari petunjuk dari Allah dengan berbagai cara sesuai kemampuan kita dan dimulai dari apa adanya yang kita ketahui, seperti menimba ilmu, membaca dan memahami Al Qur’an, menyendiri berdzikir dan berpikir, membaca alam semesta ciptaan Allah, ikut ke dalam majelis-majelis. Dengan begitu Insya Allah timbullah benih cinta kepada Allah dan Rasul, tumbuh berkembanglah yakin dan takut kita (iman dan taqwa), sehingga amalan kita menjadi makin nikmat untuk dijalani, makin ikhlas diri ini beramal.
Yakin akan keesaan Allah, bahwa Ia adalah tempat bersandar sebaik-baiknya tempat bersandar. Hanya Allahlah yang kita bisa andalkan atas segala persoalan dan urusan. Takut karena kemahaan Allah, takut azab Allah, takut ``cinta tak berbalas`` yaitu takut Allah makin jauh dari kita, dan takut ``bila diri ini tak setia lagi`` yaitu takut diri kita makin jauh dari Allah, bahwa sesungguhnya kita ialah hamba yang membutuhkan curahan petunjuk dan kasih sayangNya. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu bersabar dan bersyukur dengan apa yang dianugerahkanNya baik berupa nikmat maupun cobaan - yang keduanya itu ada pelajaran yang baik bagi orang-orang yang berakal dan berpikir - berusaha dengan tidak berputus asa mengadakan perbaikan/ ``improvement`` dalam diri pribadi, dan semoga kita dijauhi dari sifat hina penuh kebencian yakni sifat buruk sangka kepada Allah yang akan menenggelamkan kita ke sedalam-dalamnya kegelapan.
Bacaan lanjutan : QS. 2: 177 dan 255, QS. 13: 12-17 dan 18-24, QS. 35: 19-22, QS. 39: 17-18 dan 38-41.
Oleh: Yang sedang belajar, bukan ``Penyair`` yang memanis-maniskan lidah, Insya Allah!