Sunday, April 23, 2006

Berhenti Sejenak... Menghilang dari Permukaan...


Mungkin titik jenuh itu pun datang. Apalagi ditambah dengan kewajiban utama menamatkan kuliah di Jerman ini telah tiba. Konsentrasi kuberikan sepenuhnya untuk menjalani tugas thesis.

Aku yang selalu 'gatal' melakukan sesuatu yang baru dan lebih baru lagi namun berguna, akhirnya harus takluk dengan ketakutan akan diri sendiri. Setiap pijakan pertama untuk memulai selalu terbayang 'hantu' kesombongan yang sedang menunggu di gerbang kesuksesan yang siap menjatuhkan harga diriku.

Terlalu banyak kemampuan malah menyulitkan diriku sendiri. Banyak kepercayaan menumpuk di pundak. Hingga malu dan takut menghinggapi, bila aku bukan seperti yang orang-orang harapkan. Kadang orang terlalu jauh mengira siapa diriku dan terlalu berlebihan mengandalkanku.

Saatnya untuk menghilang ditengah-tengah kerumunan. Beberapa kegiatan harus kutanggalkan dengan rasa pilu. Bahkan banyak kekecewaan yang menghampiri yang terlihat dari keluh kesah hingga mimik dari orang-orang di sekelilingku. Walau begitu mereka masih dengan ikhlasnya berdoa dan mendukung. Seakan mereka tahu bahwa masa itu akan datang. Dimana sosokku akan lenyap perlahan-lahan dari pandangan mereka.

Maafkan aku yah! Untuk saat ini tidak sesering biasanya aku 'melengkapi' kalian semua. Mungkin akan masih ada 'kekuatan' untuk kalian dariku, namun jumlahnya mungkin sedikit dan ala kadarnya. Bahkan itu hanya berupa doa sekalipun, hingga Allah meminjamkan kekuatanNya untuk mempermudah aktivitas kalian semua. Moga segala kebaikan tercurah selalu untuk kalian semua dariNya.

Terima kasih telah 'melengkapi'ku dan memberikan 'kekuatan' kalian untukku...

Thursday, April 13, 2006

Launching!: ALIF Luncurkan Buku Pertama di Jerman


Penulis : ALIF (Aliansi Penulis Fathonah)
Terbit : 2006
Jumlah Halaman: 98
Ukuran : A5
Penerbit : IKID (Ikatan Keluarga Islam Darmstadt-Jerman)
Sampul : Soft Cover (smoke)
Harga : € 5,50 (perdana di SII Darmstadt 2006)
€ 6 (cover tidak anti air tapi dengan sampul plastik)
€ 8 (cover anti air)

***


Alhamdulillah wa syukurillah, akhirnya kami pun merampungkan buku pertama ini. Mencoba-coba untuk underground, penuh dengan proses trial and error yang berguna untuk pengetahuan kami kelak sebagai penulis yang masih belum bisa unjuk gigi.

Dari proses pengumpulan naskah, penyeleksian, penyuntingan, penataan layout, pembuatan cover dan ilustrasi hingga penjilidan sendiri. Nikmat tiada terkira!

Buku ini berisikan artikel dan cerpen mengenai sebuah sisi lika-liku kehidupan para pelajar Indonesia selama di Jerman.

Moga bermanfaat bagi semua pembaca!

***

Profil ALIF

(Aliansi Penulis Fathonah)

Menulis adalah sarana yang paling essensial untuk berdakwah. Pun Iqro´(baca) dan Kalam (pena/tulisan) menjadi pesan nyata, bahwa wujud kongkret dari berdakwah adalah menulis. Setiap ilmu dan khazanah yang didapat setiap insan hendaknya senantiasa menjadi saksi nyata, yang kelak menjadi ekstrak yang bermanfaat bagi orang lain, seperti yang pernah diungkapkan Ali bin Abi Thalib ra., “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Muncullah satu ide dari beberapa Penulis Indonesia di Jerman untuk bersama-sama mengumpulkan karya-karya mereka, yang kemudian dikumpulkan dan dipersembahkan dalam satu buku. Dari sanalah timbul keinginan untuk membentuk satu komunitas yang memiliki kesamaan cita-cita, yang ujung-ujungnya ingin menunaikan amar ma´ruf nahi munkar ALIF diharapkan dapat menghasilkan insan-insan Alif (akrab dan memiliki kesatuan tauhid) dan Fathonah (cerdas/bijak) yang kelak dapat mencerdaskan dan menyejukkan pembacanya dengan menyajikan tulisan-tulisan hikmah bermanfaat. Sehingga pembaca selalu dekat dan lebih dekat lagi terhadap Rabb-nya.

Komunitas ini terbuka bagi semua kalangan penulis-penulis Indonesia di Jerman, yang mempunyai Visi dan Misi. Mengingat usianya yang masih terbilang dini, ALIF...

Darmstadt, April 2006 Milis perkumpulan kami di Jerman: http://groups.yahoo.com/group/aliansi_penulis_fathonah/
Pesan buku: ibnu.ihsan@gmail.com

Friday, April 07, 2006

ABG: 'Anak' Baru 'Ghiroh'


Pada saat akan naik ke kelas 2 SMU, aku merasa jenuh dengan kegiatan Ekstrakurikuler yang aku jalani. English Club. Ada keinginan untuk mengganti kegiatan itu dengan kegiatan lainnnya. Yang lebih santai dan menyenangkan.

Untuk kegiatan Paskibraka sepertinya sudah telat. Kalau ikut kegiatan olah raga seperti Basket dan Voli, kurang menarik menurutku, walaupun badanku sebenarnya besar. Apalagi yah? Karya Ilmiah Remaja, Melukis, Pecinta Alam, ROHIS dan Paduan Suara. Lalu katanya akan dibuka kegiatan baru, yaitu PMR. Duh, makin pusing saja untuk memilih.

Akupun berkesempatan sekedar mampir di Mushollah sekolah. Mencoba-coba mempelajari kegiatan ROHIS di sana. Apalagi sudah lama absen dari kegiatan 'ngaji' sejak akhir SD. Kadang jadi suka terkenang-kenang dengan jaman-jaman masih 'TPA' dulu di Ujung Pandang.

ROHIS, kegiatan yang menarik. Anak-anaknya secara umum juga menyenangkan. Kegiatannya pun bermanfaat.

Tapi datang kekecewaan. Beberapa dari mereka nampak keras dan terasa kasar jika mengobrol denganku. Tidak nyaman rasanya seperti digurui dan dihakimi. Dan yang tambah kecewanya, ketika orang yang habis menceramahiku itu ternyata sangat berbeda jika sudah berada di luar lingkaran. Corong ternyata tak sejalan dengan pangkalnya. Tanpa berpikir panjang, aku lalu memilih kegiatan PMR dan Paduan Suara.

***

Semasa kuliah, aku isi hari-hariku tidak hanya dengan kuliah. Namun juga dengan kegiatan organisasi kemahasiswaan dan Band Kampus. Senang, tapi terasa hampa. Seperti ada sesuatu yang hilang. Sesekali aku mengalihkan pandangan ke arah Masjid Kampus. Memperhatikan kegiatan-kegiatan LDK. Namun akupun menutup mata dari kenyataan itu. Rasa kesal masih meraja.

Tiba-tiba sebuah Masjid baru berpijak di sebelah rumahku. Undangan melayang ke tanganku untuk turut berpartisipasi dalam pembentukan pengurus Remaja Masjidnya.

Akupun terpilih sebagai ketua umum. Apa aku 'cerewet' pada saat musyawarah? Atau karena aku bukan anak komplek apalagi bukan anak kampung? Yah sudahlah, jalankan saja tanggung jawab ini. Banyak suara yang memilih, artinya akan banyak pula bantuan dari mereka selama memimpin dalam kala 2 tahun.

Alhamdulillah, kegiatan pun berjalan. Di mulai dengan kegiatan pengajian rutin. Banyak pengetahuan berguna yang aku cerna disini. Sampai-sampai kegiatan organisasi kemahasiswaan kutinggalkan, dan kegiatan Band kukurangi.

Akupun semakin berapi-api. Bersemangat beraktivitas di organisasi kecil ini. Semakin banyak dan bervariasi kegiatan yang kami adakan. Tak luput momen-momen islam maupun nasional yang terisi dengan acara.

Seiring berjalannya waktu, seperti ada perubahan dalam perilakuku. Kalau ada yang salah di mataku dan tidak sesuai dengan agama, akupun bertindak dengan tegas. Tak ada kata 'berperasaan' lagi dalam kamusku.

Kesabaranku pun mencapai puncaknya ketika pengajian rutin semakin lesu dan sepi dihadiri. Karena tak ingin orang lain memadamkan semangatku yang meletup-letup ini, akupun bertindak terlalu jauh dan berlebihan.

Aku tiba-tiba tersadar. Tuturku dan sikapku pun terasa lebih keras. Apa yang telah terjadi pada diriku?

''Hehehehe... Itu namanya lagi proses... Tenang!'' jawab seorang adik kelas di SMU dulu yang sempat aktif di ROHIS, dan sekarang ikut aktif membantuku di organisasi ini.

Hah? Proses? Aku tidak mengerti.

Jawaban senada pun terlontar dari Ustadz di Masjid itu, ''Sabar...! Maklum kamu masih muda begini... Semangat muda itu selalu berkobar-kobar, apalagi mempertahankan sesuatu yang diyakininya... Tidak apa-apa kok... Bukan suatu yang aneh... Cuman lagi proses... Tinggal diarahkan saja kok...''

Iya, proses. Untuk menjadi bijak itu memang perlu proses yang memakan waktu. Kadang cepat, kadang lambat. Dan kadang ada pasang surutnya untuk mencapai konsistensi (istiqomah).

Suatu yang wajar, semangat yang meletup-letup dimiliki oleh setiap orang, apalagi masih muda atau pemula sekalipun. Ia berdiri di depan dan membela sesuatu yang ia yakini dan cintai. Jika ada yang merusaknya, tak sungkan-sungkan ia pun siap 'berperang'.

Tak heran, hal ini juga terjadi pada para muallaf. Setelah mereka 'kembali', semangat merekapun berkobar-kobar tinggi. Berlomba-lomba dan bersaing untuk mengejar ketertinggalannya dari muslim yang sudah sejak orok berislam.

***

Selama studi di Jerman ini, aku tak lupa turut aktif dalam kegiatan pengajian di kotaku. Jama'ahnya pun beragam. Dari yang muda hingga lanjut usia. Dari yang baru pertama kali ikut pengajian sampai yang sudah sepuh.

Sekarang aku suka tersenyum jika melihat seorang muda maupun pemula yang punya semangat (ghiroh) besar. Maklum adanya, jika di antara mereka ada yang bersikap keras. Adapula yang di dalam lingkaran bersikap begini dan di luar lingkaran bersikap begitu. Dan maklum pula, jika ada di antara mereka bersemangat untuk berdakwah, walau pengetahuannya masih hijau sekalipun.

Hmmm.... ABG, 'Anak' Baru 'Ghiroh'. Akupun sendiri saat ini masih merasa seperti itu kadang-kadang.

Tidak mengapa dan tidak aneh. Namanya juga lagi proses. Bentuk pengarahan di dalam pengajian toh masih berlanjut hingga ke liang lahat. Pengajian adalah semacam bentuk Inkubator. Bebagai macam latar belakang disatukan dalam satu visi. Kami sama-sama belajar menjadi bijak dan membumi. Kami belajar menjadi lemah lembut, namun juga tegas. Jika ada yang salah, kami saling memperbaiki. Jika ada yang benar, kami saling menjaga. Moga istiqomah kami makin bertambah-tambah dan terjaga langkah demi langkah.

Tuesday, April 04, 2006

Ragam Ikat Kepala - Nusantara Hingga Dunia



Karena suntuk dengan rutinitas... apalagi mau persiapan thesis... sy coba-coba iseng...

Yang terlintas di kepala adalah 'Ikat Kepala''... entahlah... mungkin karena memang sejak dulu terobsesi dan mengagumi ragam ikat kepala (buat laki2)...

Coba-cobalah saya secara otodidak memakai ikat kepala dari berbagai daerah dengan melihat foto-foto yang ada di Internet (via Browser) tanpa tahu caranya.

Dari sekian banyak model ikat kepala, saya lebih menyukai ikat kepala berasal dari Bali dan Maroko karena keunikan dan nilai estetikanya yg detail, serta kerumitan cara memasangnya.

Secara umum, fungsi ikat kepala adalah sebagai lambang kehormatan si pribadi (laki2) maupun kesukuannya. Aspek-apek yg lain semisal mistis dan filosofis... sy tidak ada komentar karena tidak tahu.

Sy tidak bermaksud untuk mengajak melestarikan, namun saya lebih menganjurkan supaya kita menghargai orang-orang yang masih memakainya hingga saat ini. Soalnya banyak persepsi negatif jika ada yg memakainya. Kadang dianggap suatu ketertinggalan, kekakuan, dan kadang dianggap ekstrim hingga radikal.

Sayang sekali, banyak ragam ikat kepala di dunia yang mewarnai harus tervonis oleh anggapan itu. Saya jadi teringat UU di berbagai negara Eropah terutama Perancis yang melarang atribut berbau agama maupun budaya. Yang terkena bukan hanya yang memakai jilbab/ hijab, tapi juga yg memakai turban/ sorban dari India, yang memakai peci kupluk Yahudi dan lain-lain ikut terkena.

Aneh... kita selalu mengumandangkan pelestarian budaya di negeri sendiri, namun malah dunia seakan tak mau melestarikan budaya dunia. Seakan orang harus berpakaian yg sama (global dan internasional) daripada beragam (diversity). Sepertinya Kimono, Sari, dan kawan-kawannya pun akan punah.

Akankah ragam ikat kepala ini tetap ada hingga masa depan? Akankah menjadi Tren?

Entahlah... saya hanya pengagum ikat kepala... apalah saya...

Btw, sy cocok pake yg mana yah? (kok jadi narsis gini yah ... hehehehe :D )

NUSANTARA
1.Bali, 2.Sunda, 3.Jawa Tengah, 4. Yogyakarta, 5. Jawa Timuran, 6.Makassar dan Sekitarnya, 7.Melayu (secara umum), 8.Minang dan Minahasa, 9.Batak




DUNIA:
1.Malaysia (Tanah Hang Jebat dan Mpok Siti Nurhaliza, 2.Brunei (Sultan Bolkiah Style), 3.India (Singh Style), 4.Gujarat, Cina Barat, dan Asia -istan2, 5.Jazirah Arab bagian Timur (Aa Gym ato Diponegoro? :D), 6.Marokko dan sebagian Afrika Utara, 7.Mongol, Persia, Turki hingga Mesir


Ini mah gak usah diikat lagi dan yang disebelahnya seh bukan ikat kepala tapi peci kesayangan :)

Saturday, April 01, 2006

Iiihhh Jorse..!!! Najis Kok Dipiara !!???


Pada akhir minggu, Faiz, Jeri, dan Syahlan 'hunting' Manga di sebuah toko buku pada sebuah Mal.

Setelah puas menumpang baca dan membeli seri terbaru dari buku cerita Naruto dan Bleach, merekapun beristirahat di selasar.

''Jer... Gw kokok yah ...?'' kata Syahlan yang telah mengambil botol Aqua dari tas Jeri untuk melepas dahaganya.

''E eh... JANGAN !!! Itu bukan untuk diminum !!!'' teriak Jeri.

''HAHHH??? Kalo bukan buat diminum... buat apaan dong? Lo khan emang selalu bawa botol Aqua di tas...'' kata Syahlan sambil menyelamatkan mulutnya dari bibir botol.

''Itu buat basuh 'itu' loh...''

''Apaan seh Jer..? 'Itu' apaan ?'' tanya Faiz ikutan 'nimbrung'.

''Anu... Mmmhhh... Kalo abis buang air... khan 'itu'nya kudu dibasuh...''

''Di cebokin maksud lo ???''

''Hoooeeekkkk !!! Tega bener lo...! Bilang-bilang kek kalo buat begituan...'' kata Syahlan mual.

''Ini juga mo dibilangin... Makanya jangan asal ambil barang orang dong... Tanya dulu kek...!''

''Airnya buat basuh 'itu' dan 'itu' juga.. Jer?'' tanya faiz sambil 'nunjuk-nunjuk' dengan 'PD'-nya ke arah bawah.

''Husss!!!... Rusuh neh... Malu diliatin orang entar...!!! Entar dibilang 'gak normal' lagi kita betiga...''

''Iye-iye...Sorry... Heheheh...''

''Iyah, itu buat basuh dua-duanya kalo abis buang air... Abis mo gimana lagi... Toilet di sini gak ada semprotan airnya...''

''Pake Tisu Toilet emang gak bisa apa???'' tanya Syahlan.

''Ya enggaklah Lan... Yang afdhol itu kalo dibasuh pake air... biar bersih dari najis... Kalo enggak, entar gak bisa sholat loh! Syarat sahnya sholat khan harus suci dari najis...!''

''Hah? Gw kira jaman semaju dan lebih beradab sekarang ini... pake Tisu Toilet ajah dah cukup...''

''Iiiiiih Jorse!!! Najisnya khan masih nempel tuh... Gak keangkat... Malah belepotan kemana-mana.... Najis kok dipiara!!! Beradab begimaneeeee???''

''Berarti bule-bule yang biasa make pada jorok dong yah???''

''Iya seh... Tapi kalo gw biasanya Tisu Toiletnya dibasahin pake air... khan bisa tuh...'' kata Faiz.

''Husss... Asal deh lo! Dibasuh air itu lebih bersih... Najis-najisnya pada kebawa ama air... Kalo pake tisu basah mah... Najisnya tetep nempel kayak perangko...Gak ngepek lah yaw...''

''Ooooh gitu... Wah musti ngubah kebiasaan neh... Nanti gak bisa sholat deh jadinya''

''Wah berarti toilet manapun gak manusiawi yah... Gak beradab! Gimana seh? Malah jebakin orang gak bisa sholat gituh... Heran deh... Kita khan mayoritas muslim... Tapi apa-apa malah dipersulit...'' sesal Syahlan.

''Tullll...!!! En satu lagi neh... Kalo buang air kecil jangan di Urinal... mending di WC ajah... soalnya bakal balik mantul ke celana tuh.....'' kata Jeri memperingati.

''Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.....!!!'' teriak Faiz dan Syahlan jijik.

''Kok jadi ngomongin jorok-jorok begini seh....??? embeeeeeeerrrr!!!'' celetuk Jeri.

''Ga papa... Walau ember, kita khan jadi tahu jadinya...'' kata Syahlan.

''Sep lahhh!''