Friday, March 16, 2007

Doa Seorang Hamba


Lonceng berdering menandakan jam pelajaran usai. Tiba-tiba Pak Haikal dihampiri oleh dua dari siswa-siswi kesayangannya, Nabil dan Uwais.

''Pak, kami berdua kemarin telah mengikuti tes untuk beasiswa ke Jerman. Insya Allah kami telah berusaha sedapat mungkin. Moga besok lusa hasilnya memuaskan.'' kata Nabil.

''Terima kasih telah membimbing kami untuk dapat mengikuti kesempatan itu, Pak. Moga menjadi pengalaman yang baik...'' lanjut Uwais.

''Alhamdulillah... Sekarang kalian berdua segera berdoalah kepada Allah! Moga Allah mengabulkan keinginan kalian...''

*****

Hasil tespun telah diumumkan. Namun sayang, keduanya tidak lulus.

Pak Haikal mendapati mereka sedang duduk di halaman kelas. Lalu ia menghampirinya dengan rasa prihatin.

''Sabar ya Nak! Insya Allah ada kesempatan yang lain yang lebih baik lagi...'' kata Pak Haikal menghibur.

''Iya pak... Insya Allah kami kuat... Iya khan Bil?'' jawab Uwais.

Nabil tak berkata apa-apa. Menampakkan raut kejengkelan.

''Kenapa seh Pak... keinginan kami tidak dikabulkan??? Dan juga kamu We, kok kamu tidak jengkel seh?'' berkata Nabil tiba-tiba, seakan segala impiannya telah rubuh.

''Kalau boleh bapak bertanya... Doa kalian seperti apa?'' tanya Pak Haikal.

''Kalau saya seh berdoa minta diluluskan sehingga bisa ke Jerman untuk kuliah. Moga semua berjalan dengan baik sesuai dengan keinginan saya, seorang hamba yang lemah ini.'' jawab Nabil.

''Kalau kamu We, apa?''

''Kalau saya seh berdoa... Kalau memang Allah berkehendak supaya keinginan saya untuk lulus dikabulkan... Alhamdulillah... Moga menjadi kebaikan dan keberkahan untuk saya... Kalau Allah berkehendak saya tidak lulus... Moga saya diberikan kelapangan dada untuk menerima kenyataan tersebut dan diberikan tempat yang lain yang lebih baik lagi... Karena Allahlah yang lebih tahu apa yang baik untuk saya... Walau itupun tidak seperti keinginan saya...'' jawab Uwais.

''Itulah sebenar-benarnya doa seorang hamba kepada Tuhannya! Bukan sebaliknya...''

- QS. 23: 29 dan QS. 28:24 (Terima kasih Ustadz!)

Wednesday, March 14, 2007

Khianat


Khianat kadang peranku
Masa kalbu coreng moreng
Cap nifaq gerogoti
Riya' pun tak tanggung

Khianat kadang peranku
Malu tanggal seribu langkah
Layar sadar tercabik hasrat
Sembunyi takut percuma

Sesal...
Taubat...
Sumpah...
Berulah langgar balik...

Sesal...
Taubat...
Sumpah...
Berulah langgar balik...

Berulangan tak puas...

Datangpun akhir
Sempitnya sempat
Terlambat sudah terhambat
Alpa anugerah ampun

Saturday, March 03, 2007

[KFTS]: Shaf-shaf yang Terurai


Setelah memarkirkan motornya, Lie berjalan tenang menuju tempat berwudhu' di sebuah langgar. Sambil berwudhu', Lie mendengar suara iqomah dari ruang shalat. Dengan kata lain mungkin kali ini ia harus bermasbuk.

Berjalan ia tak tergesa menuju ruang shalat, lalu mendapati seorang makmum duduk di halaman tidak turut shalat dengan sang imam. Ia adalah Pak Suhail, 'pelanggan' rutin langgar itu. Maka merupakan sebuah pemandangan yang tidak biasa jika ia tidak ikut berjamaah.

Lalu Lie pun menegurnya dengan salam lalu bertanya.

''Tidak shalat Pak?''

''Saya tidak mau bershalat dengan mereka!''

Lie pun tercengang.

''Lihatlah Nak! Karpet untuk shalat telah diganti dengan yang baru...''

Lie pun seketika menyadarinya dan memperhatikan karpet baru tersebut. Karpet itu mirip sajadah yang bersambungan, tidak seperti karpet lama yang hijau polos tak bermotif.

''Lihatlah! Tiap orang sudah punya kavling-kavlingnya sendiri. Lihatlah shaf-shaf mereka! Bahu-bahu dan ujung-ujung jari kaki mereka tak bersentuhan. Padahal sang imam telah mengisyaratkan untuk merapatkan shaf... Mereka seakan ego tak mengikuti suruhan sang imam...Mereka kira mereka sudah merapatkan barisan...''

Lie pun terdiam, menyepakati pernyataan Pak Suhail.

''Saya sedih... melihat kenyataan bahwa ini sama halnya apa yg terjadi pada umat kita saat ini... Mereka berkelompok-kelompok dan ego dengan masing-masing kelompoknya sendiri. Silaturahim pun menjadi longgar... Tak rapat lagi... Tak bersentuhan lagi...''

Lie terhenyak dengan kesedihan Pak Suhail. Merinding ia membayangkan metafora tersebut.

''Setelah ini... sebaiknya kita diskusikan dengan imam saja tentang hal itu... Namun sekarang saya jadi bingung...''

''Kenapa bingung Nak?''

''Apakah saya ikut bershalat dengan mereka atau tidak sekarang...?''

Lie bisa saja ikut berjamaah merapatkan barisannya sendiri dengan jamaah terdekat. Namun ia memikirkan Pak Suhail yang tidak mendapatkan shalat berjamaah.

''Bapak tetap tidak shalat dengan mereka?''

''Tidak akan!''

''Kalau begitu saya masbuk dulu ya Pak?... Saya coba dorong jamaah di belakang dari arah kanan supaya shaf rapat... Jika tidak berhasil dan bapak tetap tidak mau berjamaah dengan mereka... Tepuk bahu saya saja...! Jadi bapak juga dapat bershalat berjamaah saat ini... Daripada shalat sendiri, pahala berjamaah khan lebih banyak...'' ajak Lie tersenyum lebar hingga gusinya terlihat.

''Iya Nak...'' jawab Pak Suhail sembari tersenyum pula.