Friday, May 30, 2008

[KFTS]: Manusia Bermanfaat dalam Ibarat


"Pep! Kenapa kamu lanjut kuliah lagi seh! Jangan belajar melulu. Kapan beramalnya? Kapan membangun negara ini?" tanya Chandra tiba-tiba, setelah mengetahui sahabatnya Apep akan terbang ke Malaysia untuk melanjutkan ke S2.

Apep menghela nafas sesaat. Pertanyaan ini sepertinya selalu berulang-ulang dari mulut yang satu dan dari mulut yang lain. Seperti tak henti-hentinya menghalangi kehijrahannya di negeri jiran. Kesedihan tergurat dalam rautan wajah. Kenapa orang lain tidak merestui niatnya?

Sesaat beristighfar, lalu ia pun menjawab dengan penuh kehati-hatian.

"Ndra, Aku semata-mata bukan dengan serta-merta meninggalkan amal. Dan bukan pula lari dari tanggung jawab. Aku melanjutkan kuliah justru untuk memperkuat potensi."

"Iyah! Tapi kalau ilmu itu tidak segera kamu pakai, nanti kamu seperti buah yang busuk. Karena kamu tidak mengamalkannya dengan segera. Justru tidak bisa memberikan manfaat. Mana ada yang mau memetik!"

"Kalau begitu, kenapa tidak dengan paralel?"

"Pararel?"

"Ibarat pohon dengan buah yang matang lagi molek. Yang tidak bisa diam untuk memberikan manfaat. Yang tidak bisa diam untuk segera dipetik. Yang kalau sudah dipetik akan berbuah lagi di suatu saat. Bahkan jika Allah mengijinkan, setiap dipetik, ia akan berbuah lagi dalam sekejap!"

"Hah?"

"Aku menjemput ilmu bukan berarti aku berhenti dari beramal. Justru setiap aku mendapatkan ilmu, aku harus segera mengamalkannya. Tidak aku tumpuk-tumpuk hingga ilmuku jadi usang. Insya Allah, aku kuliah bukan berarti mengurangi amal. Justru menambah amal. Setiap aku mendapatkan satu pengetahuan, maka aku harus bersegera mengamalkannya.Maka dengan kepergianku untuk kuliah di negeri Malaka, bukan berarti aku tidak ingin membangun negeri. Justru sambil aku kuliah, sambil aku beramal. Walau amalan itu hanya berupa karya tulisan sekalipun.Setidaknya bermanfaat, dan insya Allah berpengaruh besar."

Chandra mengangguk paham.

"Baiklah sahabat! Sekarang aku mengerti dan tidak akan memaksakan pertanyaan itu lagi. Tapi kamu harus ingat akan kata-katamu tadi"

"Iya Ndra! Mohon teguran, bimbingan dan penjagaannya!"

"Insya Allah! Sama-sama kita Pep!"

"Iyah."

"Mudah-mudahan kamu seperti buah matang lagi molek itu, yang isinya bagai nikmat surgawi. Kalau kamu jadi seperti buah yang molek tapi di dalamnya kopong bahkan berulat. Aku tak sudi mengikutimu. Dan mudah-mudahan aku juga tidak seperti itu."

"Naudzubillah mindzalik! Moga Allah melindungiku dan kita semua dari kejahilan itu! Mohon doanya!"


(Begitu berat menulis kisah ini. Moga saya tidak bermaksud menggurui, namun berbagi. Moga kita termasuk orang-orang yang selalu memperbaiki diri dalam Ilmu dan Amal)

Thursday, May 15, 2008

[KFTS]: Yang Termahal dalam Do'a


Setelah shalat isya' tampak Fadli khusyu' sekali berdo'a. Hal itu mengundang perhatian seorang tua untuk mendekatinya.

Setelah Fadli berdo'a, ia lalu menegurnya dan bertanya.

"Apa yang kamu pintakan, sehingga engkau begitu khusyu'nya berdo'a?"

"Aku meminta kepada Allah supaya aku dimudahkan untuk menjemput rejeki yang melimpah, Kek! Di masa yang serba sulit ini, semua seakan serba mahal untuk aku memenuhinya."

" Moga para malaikat mengaminkan do'a hambanya yang teraniaya ini. Moga Allah mengijabah do'amu, Nak!"

"Aamiiin ya Allah! Ya Rabbal 'alamiin!"

"Kamu mau tahu apa saja sebenarnya yang termahal, selain kesulitanmu yang kecil itu?"

"Adakah yang lebih mahal lagi?"

"Ada!"

"Apa itu, Kek?"

"Anugerah yang termahal adalah Hidayah dan Iman yang semakin menebal. Rejeki yang termahal adalah Ketentraman Jiwa. Berkah yang termahal adalah Keteguhan Hati. Bekal Hidup yang termahal adalah Kegemaran akan Ilmu Din dan Ibadah yang Bertambah lagi Berkelanjutan. Amalan yang termahal adalah Taubat yang diringi dengan Kejujuran akan Kesalahan dan Keistiqamahan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Warisan termahal adalah Akhlaq Mulia. Akhlaq yang termahal adalah sikap Tawadhu' lagi Hanif. Perlindungan termahal adalah Perlindungan dari sifat Dengki lagi Tinggi Hati. Penjagaan termahal adalah Silaturahim dan Persaudaraan. Jihad termahal adalah Jihad terhadap Diri Sendiri. Hadiah termahal adalah Ridha Allah dan Perjumpaan denganNya. Kenapa tidak kau pintakan itu, selain yang kau pintakan tadi?"

Fadli terdiam. Serta merta ia pun terisak.

"Ya Allah! Kenapa aku selalu hanya meminta materi dan materi saja? Padahal ada yang lebih mulia lagi penting dari itu semua. Apa jadinya dengan materi, tapi tanpa itu semua. Dan apa jadinya tanpa materi, tapi tanpa itu semua."

"Semoga Allah sudi mencurahkannya merata kepada dirimu, Nak!"