Saturday, November 19, 2005

Melangkahku Tak Sendirian


Hidupku pasang surut
Di arus yang kuturut
Terbawa hingga lupa sadarku
Terbawa kepusaran angkuhku

Ku yang dulu tak pernah punya sahabat
Sahabat yang dekat siap mengangkat
Ku yang tak pernah kenali diri
Diri yang siap mengarahkan kaki

Berlayarku akhirnya mencoba-coba tahu
Mencari tempat menepi
Nikmat manakah untukku
Beragam rasa kuresapi

Setiap langkah kiriku
Pertanda buruk menakuti
Setiap langkah kananku
Pertanda baik menemani

Cukup...
Tak kan pun hitam apalagi kelabu
Cukup…
Hanya putih yang basuh perihku

Akhirnya kukalah
Kalah harus memilih
Tunduk atas kemahaanMu
Bersandar atas ketidakdayaanku

Berjalanku setelahnya mencoba-coba tahu
Menemukan tempat tuk kutinggali
Rumah manakah untukku
Beragam jalan kutemui

Setiap hasratku menggebu
Pertanda buruk meresahkanku
Setiap hatiku menggebu
Pertanda baik menyamankanku

Cukup...
Tak kan pun hitam apalagi kelabu
Cukup…
Hanya putih yang basuh perihku

Akhirnya kukalah
Walau kali ini benci tuk memilih
Tunduk atas keyakinan padaMu
Bersandar atas tuntunan cahayaMu

``Ya Allah.. jika ini tempat yang Engkau kasihi dan ridhoi, maka jadikan aku bagian dari para penghuninya… Ya Allah, Langkah demi langkah dengan pertolongan kekuatanMu, kan kukejar ketertinggalan dan ketaktahuanku, walau saat ini hanya dengan langkah-langkah kecil, moga kelak tetap sampai jua menuju ridhoMu... Aamiiin``.

- Syukurku atas Kasih SayangMu pada tiap-tiap pertandaMu di tiap-tiap langkahku -

Peran Bahasa Daerah dalam Mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Kesatuan

(Huruf diatas adalah huruf LONTARA dari Makassar yang juga mendapat pengaruh huruf-hurf palawa dari kebudayaan india)

Bangsa dunia menilai kemajuan peradaban suatu bangsa salah satunya adalah melalui ketinggian bahasanya. Bahasa yang kompleks dari segi Grammatik dan Morfologi sebuah kata mencerminkan bahwa bangsa itu memiliki ketinggian peradaban dan menunjukkan kecerdasan bangsa tersebut. Sebagai contoh bahasa yang bisa dikatakan tinggi adalah bahasa jerman, arab, cina dan jepang. Bagaimana dengan bahasa indonesia ?

Bahasa Indonesia sendiri lahir pada zaman dimana bahasa ini dipergunakan sebagai bahasa perdagangan antar bangsa, istilah yang kita kenal adalah ''Lingua Franca''. Bahasa yang beribu dari rumpun bahasa melayu yang berasal dari Tanah Riau, telah disahkan secara nasional oleh kita sebagai Bahasa Pemersatu dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Sudah sekian lama bahasa ini menjadi kebanggan bangsa kita.

Namun sayangnya Bahasa Indonesia banyak memiliki kelemahan, terutama terlalu mudah dipelajari dan tidak kompleks aturan-aturan tata bahasanya, terutama permasalahan grammatik, morfologi, dan bahkan perbendaharaan katanya yang sedikit. Tak heran bahasa indonesia sejalan dengan waktu terjajah oleh bahasa asing.

Banyak istilah-istilah asing yang tadinya menambah koleksi kata bahasa indonesia - terutama istilah di bidang eksak (IPTEK) - malahan kini merambah hingga bahasa pergaulan kita sehari-hari. Dan banyak istilah asing ini dipergunakan secara liar, jauh dari definisi asal sebenarnya. Oleh karena itu terjadi kerancuan. Bisa jadi saya dan anda -jika kita mendapatkan salah satu istilah asing- pengertian kita masing-masing berbeda. Lalu ada istilah asing yang definisi hanya satu, tapi kita generalisasikan. Akhirnya tadinya kita bermaksud menggunakan istilah itu untuk menggambarkan apa yang kita ingin ungkapkan, malah sama sekali istilah itu tidak cocok dipakai pada ungkapan itu. Padahal semestinya ada istilah asing yang lain yang lebih cocok dipergunakan pada ungkapan tersebut.

Tak bisa dipungkiri juga, seringnya kita mempergunakan bahasa asing malah menggeser nilai identitas keindonesiaan, dan bahkan nilai kesatuan kita. Pada saat kita berbicara kepada seseorang yang berasal dari daerah lain, sudah pasti kita menggunakan bahasa indonesia. Namun karena bahasa indonesia yang telah terpengaruhi oleh istilah asing dan istilah asing tersebut kita pakai pada saat perbincangan tersebut, malah bisa menimbulkan kesalahpahaman. Tiba-tiba orang yang diajak bicara menjadi marah, karena bisa jadi dia tidak mengetahui dengan pasti istilah yang kita pergunakan - bisa jadi dia tidak tahu artinya atau bisa jadi salah mengartikan-. Justru inilah yang menjadi salah satu sumber perpecahan kita. Ternyata semakin berkembangnya bahasa indonesia dengan perbendaharaan kata asing tidak sejalan pelaksanaannya di lapangan di seluruh pelosok tanah air.

Dan ternyata juga penggunaan bahasa asing ini lebih digunakan dalam pergaulan orang-orang kota besar, terutama di Jakarta. Orang-orang kota besar memang identik mempergunakan istilah-istilah asing - supaya tampak ''keren'' dan terkesan ''highclass'' -. Beda dengan kota selain Jakarta yang masih tercampur dengan logat bahasa daerahnya.

Salah satu jalan untuk mengembalikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Persatuan adalah dengan cara memberi kesempatan kepada keragaman dan kekayaan bahasa daerah di tanah air untuk menambah perbendaharaan kata bahasa indonesia. Jika ada kata yang tidak dikenal atau tidak ada istilah bahasa indonesianya, sudah selayaknyalah kita merujuk kepada perbendaharaan kata bahasa daerah, bukan bahasa asing. Selain bahasa rumpun melayu (Sumatera dan Kalimantan) contoh yang bisa dijadikan rujukan adalah kerumitan tata bahasa dan ketinggian bahasa jawa yang berbeda tiap kasta-kasta, beragamnya bahasa sunda, bahasa batak dan mentawai, bahasa bugis dan makassar, bahasa maluku, dayak, papua, flores bisa memperkaya bahasa indonesia. Dengan partisipasi dari bahasa daerah inilah justru timbul rasa turut ikut mendukung dan mewakili kekayaan dan ketinggian bahasa indonesia, serta terutama juga akan timbul rasa sama-sama memiliki bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Inilah yang bisa menjadi salah satu solusi mempersatu bangsa kita. Hal yang kecil namun pengaruhnya besar bagi bangsa kita secara keseluruhan dari Sabang sampai Merauke.

Apakah pendapat saya tidak ''open minded'' atau tidak sejalan arus globalisasi dunia tanpa batas karena menolak penggunaan istilah asing ? Pertanyaan balik saya adalah, kita akui bahwa Bahasa Inggris sudah menjadi Bahasa Internasional. Tapi mengapa bahasa inggris tetap disebut sebagai bahasa inggris ? Kenapa tidak disebut Bahasa Dunia ? Apakah bahasa inggris telah mewakili bahasa di dunia ? Walau bahasa inggris pun juga menambah perbendaharaan katanya dari bahasa asing lain, namun terbatas mengambil seputar bahasa-bahasa Eropah (Jerman, Italia, Latin, Perancis dan Belanda), terutama untuk perbendaharaan kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Namun untuk istilah-istilah bahasa lain terutama Bahasa Asia hanya memperkaya pembendaharaan kata bendanya saja, dan hanya menunjukkan benda yang memang berasal dari Asia, semisal: 'Origami', 'Sushi', 'Sari', 'Kung Fu', 'Islam', 'Batik', 'Kampoong', 'Saroong', 'Nasi Goreng', 'Sate/Satay', 'Sambel Oelek' dan lain-lain. Walau dipakai tapi hanya pada saat tertentu saja. Saya belum pernah mendengar Bahasa Afrika diserap oleh bahasa inggris kecuali untuk istilah alat musik tertentu yang tidak terdefinisikan. Apakah ini 'open minded' ? Apakah ini sejalan globalisasi ?

Justru dengan memberikan kesempatan bahasa daerah memperkaya bahasa indonesia, maka bisa jadi bahasa kita bisa digolongkan kedalam bahasa dunia dan juga ikut memperkaya suatu bahasa yang akan menjadi bahasa dunia kelak dalam rangka mempersatukan dunia. Walau serapan kata daerah pada awalnya terdengar lucu, bisa jadi 5 hingga 10 tahun kedepan malah telinga kita semakin terbiasa dengannya. Padahal pada saat kita menyerap istilah asing adakalanya kita merasa tergelitik memakai istilah tersebut, namun lama kelamaan malah diterima. Oleh karena itu kalau kita tidak bisa memelihara bahasa indonesia dengan memperkayanya, maka tidak lama lagi bahasa indonesia hanya tinggal kenangan saja dan hanya menjadi ''objek museum''.

Aneh saya rasa, bagi kita yang masih menganggap pemakaian istilah asing akan menunjukkan kecerdasan seseorang dan menggunakan istilah indonesia akan terasa 'kampungan'. Padahal dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan bahasa-bahasa daerah kita justru menunjukkan ketinggian peradaban bangsa kita. Seperti anggapan bangsa dunia terhadap ketinggian bahasa suatu bangsa yang saya ceritakan pada awal artikel ini.

-saya yang sedang belajar di jerman, yang masih sulit menguasai kerumitan bahasa jerman-

nb: Mohon maaf apa yang saya utarakan apa adanya dan ternyata juga terdapat istilah-istilah asing :). Maklum, saya hanya seorang arsitek yang sudah terbiasa memakai istilah-istilah tersebut dalam dunia akademis dan kerja yang juga saya mempelajarinya melalui sekolah-sekolah.
Dan maklum, kalo tulisan saya juga tidak tersusun rapih, karena saya sedang belajar menulis.
Melalui tulisan ini, saya hanyalah prihatin dengan nasib kesatuan bangsa kita dan terutama nasib Bahasa Indonesia kita.
Oleh sebab itu saya mohon bagi yang berkepetingan dan ahli di bidang bahasa indonesia, tulisan ini bisa menjadi masukan bagi anda sekalian.

Tuesday, November 08, 2005

Cermin-cermin didekatmu...


Kendaraan berlari kencang liar bersambar-sambar
Kendaraan bertumpuk penuh sesak teriak-teriak

Begitulah dirimu
Begitulah dirimu

Kanal hitam pekat tersumbat mati
Sampah berhamburan di muka halaman

Begitulah dirimu
Begitulah dirimu

Lampu merah kau seberangi daripada yang hijau
Bertunggu-tunggu dipinggir jalan daripada halte

Begitulah dirimu
Begitulah dirimu

Gedung kemilau mencakar langit gerah
Bertetangga gubuk kumuh renta

Begitulah dirimu
Begitulah dirimu

Lampu kerlap kerlip goyang inul
Ngerumpi gosip sana sini bakar api

Begitulah dirimu
Begitulah dirimu

Argumentasi bela rakyat memekik
Sudah tinggi malah mencekik

Begitulah dirimu
Begitulah dirimu

Begitulah umatmu....

Monday, November 07, 2005

Dogma ? Doktrin ?

Dogma (dari bahasa Yunani, bentuk jamak dalam bahasa Yunani dan Inggis kadangkala dogmata) adalah kepercayaan atau ''doktrin'' yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi yang sejenis untuk bisa lebih otoritatif. Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin tidak, tergantung penggunaan. (Wikipedia)

Kenapa yah mendengar kata ''dogma'' dan ''doktrin'' langsung terasa penilaian yang konotatif (negatif). Apalagi manusia jaman sekarang - yang ingin bebas layaknya burung terbang di langit lepas tanpa belenggu yang mengkungkungnya yang ingin mencoba semua nikmat dunia - sangat alergi dengan istilah ini. Seperti digigit nyamuk, buru-buru ia semprotkan ruangan dengan obat nyamuk mematikan.

Sepertinya jalan dakwah itu sangat sulit menembus anggapan ini. Kita mencoba menyampaikan 1 ayat sekalipun tak mampu memancing orang-orang yang hatinya terkunci untuk berpikir dan bahkan sekalipun mendengarkannya. Kita seperti berkata-kata dengan orang yang mati di dalam kubur. Moga kita bersabar meneruskan risalah. Tugas kita hanyalah menyampaikan... bukan menghakimi.

Jaman sekarang, sedihnya banyak orang tua tidak lagi mengajarkan anaknya sholat maupun mengaji Al Qur'an atau menyerahkan bimbingan kepada ahlinya. Mereka menganggap itu suatu ''paksaan''. Menurut mereka, anak-anak itu sebaiknya dilepaskan untuk memilih sendiri jalan hidupnya dan mencoba apa-apa yang mereka inginkan. Sampai-sampai anaknya dibiarkan memilih sendiri agamanya, naudzubillah min dzalik. Anak-anak cukup belajar melalui pendidikan di sekolah-sekolah, anggap mereka. Ironisnya... bukankah 1+1=2, tetapi bukan 11. Bukankah jika ada yang menjawab 11 maka ia salah dan bodoh. Bukankah ini sama saja sebuah doktrin.

Nabi menganjurkan kita untuk mengajarkan agama kepada anak sedari kecil, terutama masalah-masalah aqidah, akhlaq dan ibadah-ibadah yang dibiasakan. Tiada paksaan tentunya... tapi mengajarkan kebenaran adalah wajib bagi kedua orang tua, karena akan berguna kelak. Justru dengan begini, mau kemana anak itu melangkah - luruskah? bengkokkah? - insya Allah dia tahu jalan kembali pulang. Seberapa jauh dia bermain, hati kecilnya selalu berkata ''La ilahailallah'' dan moga akan menunjukkan ia ke Jalan Cahaya kembali ke rumahnya, Insya Allah.

Untuk apa penolakan dengan kebenaran yang telah diturunkan ?