Sunday, September 03, 2006

[Teropong]: Lika-liku Muslim dalam Perantauan


"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (Qs. Alam-Nasyrah [94]: 1-8).

Ayat ini turun pada saat Rasulullah dan kaum muslimin mendapat tekanan dan olok-olokan dari kaum musyrikin. Bahwa jika kaum muslimin bersabar setelah kesulitan yang ditimbulkan darinya, Allah akan memberikan jaminan kemenangan bagi kaum muslimin sehingga terhindar dari rasa cemas dan gusar.

Banyak rekan-rekan muslim dengan seenaknya mengambil ayat ini hanya demi mendapatkan kemudahan dari kehidupan mereka di luar negeri yang memang iklim, kultur dan cara hidupnya yang berbeda. Perbedaan ini, menurut anggapan mereka, akan menyulitkan terutama urusan ibadah. Padahal keadaan tak sesulit yang mereka hiperbolakan jika mereka mau menjalankan dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu tanpa keputus asaan yang terlalu dini. Usaha sebaiknya diprioritaskan pada saat permulaan, sebelum menjatuhkan keputusan bahwa keadaannya sulit.

'Jabatan' para perantau ini sebagai Musafir sebenarnya telah copot setelah menetap dan bermukim selama lebih dari 3 hari. Tapi terkadang masih banyak yang tetap mengaku bersafar. Gelagat ini seperti orang yang pensiun tapi tidak mau pensiun-pensiun. Semua ibadah sholat fardhu dengan gampangnya dilambatkan di akhir waktu, dijama', diqoshor, ataupun diqodho'.

Kalau saja kita mau mempelajari dan memahami ajaran islam dengan baik, bentuk-bentuk kemudahan dari berbagai kesulitan pada saat melaksanakan suatu ibadah sebenarnya telah ditetapkan dan dirinci jelas apa alasannya dan bagaimana menggantinya dan lain-lain. Tapi nyatanya rekan-rekan muslim di luar negeri lebih sering membuat caranya sendiri dengan ilmu yang buta, seakan membuat dasar fiqh baru atau mazhab sendiri.

Ada yang sholat fardhu di bangku dalam keadaan duduk pada saat perkuliahan berlangsung ataupun dalam kendaraan yang sedang parkir. Padahal masih terbentang luas tanah Allah di luar yang kita bisa bentangkan dengan sajadah. Entah rasa malu dilihat para 'bule' ataukah malu karena agama sendiri, mereka enggan untuk berdiri. Padahal badan masih sehat dan muda.

Berbeda kebanyakan orang Turki yang bersholat fardhu hanya sholat jum'at 'doang', justru Muslim Indonesia kebanyakan absen dari tempat penyelenggaraan sholat jum'at. Dengan berbagai alasan klasik karena tak sempat dari kesibukan pekerjaan maupun perkuliahan, mereka pun rutin tak bersholat jum'at, lewat dari 'bonus' yang diberikan. Padahal ada beberapa masjid yang melambatkan penyelenggaraan sholat jum'at sehabis jam kerja. Andai saja mereka mau berusaha mencari tahu.

Tapi dari kesemua itu ada yang lebih ekstrim lagi. Mereka sama sekali tidak sholat, dengan anggapan yang penting baik hati antar sesama manusia atau cukup dengan berdoa saja. Bukankah sholat yang akan menghindarkan kita dari perbuatan yang buruk? Bukankah sholat yang akan ditanyakan Allah pertama kali di hari kesudahan? Apakah yang mereka lakukan berbaik hati kepada Allah yang menciptakan dan menghidupkan mereka? Itukah rasa syukur?

Selain mengenai urusan sholat, urusan lainpun tak lepas digampangkan. Terutama dalam memilih makanan halal daripada yang haram. Padahal sudah banyak bertebaran toko-toko dan restoran-restoran muslim yang menyajikan makanan yang sudah dijamin kehalalannya dan lagi bersih dari darah, karena disembelih lehernya sesuai syariah dengan membaca 'bismillah'. Bukan yang disetrum lalu dipotong apalagi yang ditembak kepalanya. Itu 'seh' makan bangkai.

Alasan kuno mengenai kebutuhan meminum alkohol apalagi di musim dingin telah runtuh. Alkohol yang memang haram hukumnya pun tak menjamin memberi kehangatan pada tubuh. Justru sebaliknya, sang peminum bisa mengalami Hypothermia karena kedinginan setelah meneguknya. Justru yang tak meminumnya, banyak bukti mereka tetap bertahan tanpa keluhan akan cuaca dingin tersebut.

Begitulah manusia hanya ingin yang mudah-mudahnya saja, tanpa merugikan kemauan dan kesukaannya yang berasal dari nafsu. Suruhan agama hanya dijadikan kesulitan dan siksa. Tanpa alasan logispun sebenarnya kita sebagai hamba yang taat dan mempunyai naluri ketuhanan harus tetap menjalankannya dengan ikhlas. Sungguh usaha dan kesabaran mendatangkan kemenangan dan keselamatan.

2 comments:

Anonymous said...

YAh, tapi harus tetap bisa jaga diri, soalnya kadang orang yang merantau ke luar negeri jadi lupa budaya dalam negeri.

waterpoured said...

waduh kalo masalah budaya jangan ditanya...

pepatah lama disalah artikan..: dimana langit dipijak , disitu langit dijunjung...

Jadilah mereka bagian dari org jerman, dengan menanggalkan budaya sendiri... lalu mengelu2kan budaya jerman hingga lupa kebesaran budaya sendiri... :(