Monday, April 30, 2007

Dilema Dakwah: Ketika Publik Masih Bertuan Diri



Masih ingat tentang kasus video panas anggota DPR dengan bintang penyanyi dangdut? Masih ingat salah seorang mubaligh terkenal yang berpoligami? Dua-duanya di mata publik adalah sama bersalah, dan lambat laun turun pamor hingga terkucil. Padahal ada perbedaan yang sangat jauh antara apa yang mereka perbuat, apalagi di mata Allah.


Beberapa tahun belakangan ini, bermunculanlah wajah-wajah baru, muda dan lagi segar di dunia tabligh. Keberadaan mereka tetap bertahan karena permintaan pasaran yang antusias dari publik. Kadang dari levelnya sebagai mubaligh malah diposisi sama ratakan oleh publik dengan ulama. Padahal beda jauh dari segi keilmuan dan kredibiltasnya. Tak hanya inovatifnya cara dan tema-tema ceramah yang kekinian yang dinilai, namun naudzubillah min dzalik lebih dari itu.

Seorang saudara penah ikut pada sebuah majelis ta'lim salah satu mubaligh ini. Pesertanya kebanyakan ibu-ibu. Tak pernah habisnya lampu flash bertebaran, karena mereka ingin sekali mengambil gambar mubaligh tersebut. Terdengar olehnya, ibu-ibu itu bergosip mengagumi wajah tampan sang mubaligh yang terlihat cool, sampai-sampai lupa sama suami.

Saya masih teringat komentar lucu saudara saya: ''Pantesan aja si mubaligh yang itu pas berpoligami banyak ibu-ibu yang menentang... Wong ibu-ibunya paling juga kepengen jadi istri keduanya... Makanya pada banyak yang patah hati...''

Saya jadi teringat maraknya acara kontes-kontesan di banyak televisi di Indonesia. Anda tinggal nilai penampilan mereka di layar kaca. Mulai dari cara berjalan, berpakaian, berbicara dan lain-lain. Lalu jika anda suka, maka anda tinggal klik sms untuk memberikan suara kepadanya. Jika kontestan itu tidak ada yang suka, maka ia harus siap-siap dikeluarkan sehingga tidak bisa ikut pada sesi berikutnya. Kadangkala para kontestan harus mengikuti kemauan publik. Dan jadinya ia terperangkap untuk menjadi seseorang yang ia bukan.

Apakah itu yang sekarang terjadi pada nasib para mubaligh kita? Apakah mubaligh harus khawatir dirumahkan oleh publik? Jika tidak ingin dihengkangkan, apakah mereka tetap jaim (jaga image), berhati-hati dalam bergerak dan mengikuti apa saja mau publik, sehingga tidak kehilangan fans yang mendengarkannya dan kepopulerannya?

Kini bukan saja publik mendengar nasehat dan ceramah mubaligh, namun mubaligh harus siap-siap mendengar komentar dan kemauan publik. Jika si mubaligh tidak mendengar mereka, maka publik tidak akan mendengar si mubaligh lagi dan pergi meninggalkannya.

Publik kita memang masih belum bisa melepaskan diri dari keegoannya. Mereka yang seharusnya seorang hamba atau pelayan Allah, malah masih merasa sebagai tuan atau juragan yang harus dilayani. Jadi apa yang di mata mereka baik, maka itu adalah kebenaran.

Sebagai seorang mubaligh memang harus siap menghadapi dilema tersebut. Sebaiknya apa tindakan mubaligh, ia tidak perlu mengkhawatirkan apa kata publik nanti, apakah nanti dinilai baik ataukah buruk. Sehingga jalan dakwah tetap lurus dan bersih dari riya' dan sifat kemunafikan.

Sampaikanlah! meski satu ayat. Sampaikanlah! jika hanya satu orang saja yang mendengar. Sampaikanlah! Meski kamu akan ditinggalkan. Tapi janganlah engkau tinggalkan mereka, seperti Nabi Yunus sempat meninggalkan kaumnya!

1 comment:

ARISTIONO NUGROHO said...

Berusahalah agar semangat dakwah tidak dicemari keinginan mendapat upah (rupiah). Contohlah para ulama masa lalu, yang bertani atau berdagang untuk membiayai dakwahnya. Bukan sebaliknya, berdakwah untuk menopang perniagaannya. Untuk sharing silahkan klik http://sosiologidakwah.blogspot.com