Sunday, January 15, 2006

Gaul dengan Bahasa Aktivis Dakwah


Baru saja saya membaca tema diskusi dari sebuah forum di Webportal yang bernama MyQuran yang membahas tentang Bahasa yang sering dipakai oleh Aktivis Dakwah baik di Pesantren, Rohis, LDK, dan bahkan di Pengajian-pengajian, sebagai contoh: ana, antum, akhi, ukhti, afwan, syukron dan seterusnya. Saya menemukan sesuatu hal yang menarik dari diskusi tersebut. Beragam jawabanpun terlontar, ada yang pro, ada yang kontra dan ada yang netral. Atas keinginan untuk menulis dan dorongan dari seorang ''Ikhwan'' :), maka mencobalah saya membahas tentang tema ini. Moga dari analisa ala kadarnya ini, ada beberapa pertanyaan-pertanyaan seputar tema ini terjawabkan, dengan cara mengambil poin-poin hasil diskusi tersebut dan dengan menyimpulkannya berikut opini saya sendiri dengan pengetahuan Bahasa Arab yang minim sekali dan dengan kemampuan logika yang disertai husnuzhon (berbaik sangka).

Banyak yang menganggap pemakaian bahasa tersebut sebagai hal yang ekslusif, tertutup untuk kalangan terbatas, atau kasarnya diskriminatif. Tidak adil rasanya jika kita menghakiminya seperti itu. Bukankah setiap bahasa juga begitu. Bahasa Jawa eksklusif terhadap Bahasa Batak. Apalagi dengan bahasa ''Gaul'', bahasa gaul di Jakarta eksklusif dengan bahasa gaul di Makassar. Kalau ingin dibilang toleransi, sudah sepatutnya kita yang berbeda latar belakang, berbahasalah dengan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar menurt EYD yang disepakati, namun nyatanya tidak seperti itu khan ? nyatanya harus ada yang mengalah. Jadi poin ini tak perlu dibahas panjang lagi karena kesimpulannya hanyalah disebabkan masalah situasi dan kondisi saja.

Bahasa gaul aktivis dakwah ini memakai banyak istilah yang digunakan dalam Bahasa Arab. Namun bedanya adalah penggunaan istilah yang tidak seperti Bahasa Arab yang umum dipakai. Salah satunya penggunaan kata ''antum'' yang berarti ''kamu''. Yang sebenarnya dalam bahasa Arab ''kamu'' dalam bentuk tunggalnya adalah ''anta'', namun yang dipakai adalah bentuk jamaknya yaitu ''antum''. Dan juga sebenarnya kata ''anta'' sudah diserap ke Bahasa Indonesia dengan ''anda'' atau dalam bahasa pergaulan Betawi ''ente''. Mari kita analisa istilah ini dari Bahasa Arab:
kamu laki-laki= anta (s) - antum (p)
kamu perempuan=anti (s) - antunna (p)
Sama halnya dengan istilah ''ikhwan'', ''ikhwah'', dan ''akhwat'' yang sebenarnya adalah bentuk jamak dalam bahasa arab.
saudara laki-laki= akhun (s) - ikhwah (p) dan ikhwan (p)
saudara perempuan= ukhtun (s) - akhawat (p)
contoh perbandingan pemakaian singular: Itu loh ikhwah kita yang di Solo, yang seharusnya :Itu loh akhuna yang di Solo
Apakah disini ada kesalahan persepsi? Belum Tentu.
Kemungkinan pertama: Bisa jadi pemakaian bahasa ini sudah ada sejak dahulu kala, ketika banyak pesantren di tanah air marak. Dimana para santri yang merupakan para aktivis dakwah memakainya dalam melatih Bahasa Arab atau dalam pergaulan sehari-sehari dengan sesama santri. Pemakain ini berlangsung hingga kini dan hingga ke majelis-majelis lainnya. Jika iya, maka mungkin saja ada terjadi suatu penyerapan bahasa Arab ke Bahasa Indonesia, yang memang dimana beberapa kata yang bentuknya jamak diserap daripada bentuk tunggalnya. Tapi penyerapan ini hanya berakhir dikalangan aktivis dakwah hingga kini, tanpa dimasukkan dalam pembendaharaan kata Bahasa Indonesia. Mengapa? Hal ini saya juga tidak tahu. Kemungkinan kedua: kata''antum'' diambil dalam Al Qur'an, dimana Allah sering memanggil hambaNya ''kamu'' dengan sebutan kata tersebut. Memang tidak jarang didalamnya terdapat kata pengganti milik yang dijamakkan, sebagai contoh yang lain adalah ''Aku'' -''Kami''. Kata ''antum'' sendiri dalam kesehariaan beberapa negara arab digunakan juga ternyata sebagai ''penghormatan'' kepada orang yang lebih tua, lebih berilmu, dan lebih disayangi (bahasa halus).

Lalu ada pemakaian kata yang tak lazim digunakan dalam bahasa Arab, yakni kata ''afwan''. Dimana kata ini sering dipakai oleh para aktivis untuk menyatakan ''maaf''. Padahal sebenarnya kata itu dipakai untuk menjawab ucapan terima kasih, yakni ''syukron'' (terima kasih) maka dijawab dengan ''afwan'' (sama-sama/tidak mengapa). Justru untuk meminta maaf dalam bahasa Arab biasanya dengan menggunakan ''al afwu minkum'' atau ''ana asif / inni asif''. Menurut sumber portal My Quran, kata ''afwan'' terdapat dalam Qur'an dengan pengertian permohonan maaf. Salah satu contoh yang tertera pada QS Al A'raf 199.
Secara literal artinya adalah `mengambil kelebihan`, namun secara konteks ayat artinya `meminta maaf`.

Kecuali beberapa perbedaan diatas, secara umum istilah-istilah yang lain lebih sama dengan bahasa Arab. Dari semua itu saya akan coba simpulkan motivasi apa saja sehingga para aktivis memakai bahasa ''gaul'' ini:
1. Motivasi untuk belajar bahasa Arab untuk kepentingan pribadi maupun umat islam
2. Motivasi menjalin tali kasih sayang dan persaudaraan
3. Motivasi menciptakan lingkungan dan suasana ''menjaga iman'' dan suasana yang lebih akrab dan bersahabat.
Motivasi yang dihindari adalah Riya', yakni sifat sombong karena merasa lebih atau merasa telah menjadi muslim sejati.

Mengenai adanya anggapan pengklasifikasian, mana yang ikhwan/akhwat dan mana yang tidak. Sebenarnya tidak ada satupun manusia yang pantas dan mampu menilai tingkat keimanan ataupun akhlaq seseorang, apalagi tidak ada dalil yang menguatkan untuk memberikan gelar/ predikat/panggilan seperti itu. Bukankah setiap muslim adalah bersaudara. Apalagi dalam proses Tarbiyah, yang lebih diutamakan adalah pemahaman, bukan secara fisik. Maka panggilan ini memang hanya digunakan sebagai bahasa gaul, bukan sebagai ’’identitas’’.

Oleh karena itu pemakaian bahasa ''gaul'' ini tiada salahnya. Apalagi bermanfaat terutama untuk mengenal dan belajar bahasa Arab untuk khusyuk sholat, memahami bacaan Qur'an, dan untuk syiar secara universal. Hal ini adalah wajar dan dimaklumi, jika dilatih dalam keseharian malah menjadi suatu kebiasaan. Kami yang berada di Jerman sebagai student, dalam berbahasa Indonesia malah tersempil istilah-istilah yang nge''Deutsch''. Padahal awalnya karena harus belajar bahasa Jerman, malah menjadi suatu hal yang biasa.

Untuk memperlancar proses komunikasi antara yang tidak memakai dan yang memakai bahasa gaul tersebut, maka diperlukan saling memaklumi dan prasangka yang baik. Inilah tujuan dari penulisan ini. Yang memakai jangan me’’ritual’’kan bahasa ini namun harus melihat sikon, apalagi dalam syiar dianjurkan untuk menggunakan bahasa yang mudah dimengerti yakni terutama bahasa komunitas setempat. Yang tidak memakaipun jika tidak mengerti dianjurkan untuk memakluminya dan bertanya apa yang tidak dimengerti.

Bahasa ''gaul'' ini sayangnya pernah disalah gunakan oleh oknum-oknum tak dikenal dan bukan dari kalangan dalam. Tujuan mereka hanyalah ingin merusak nama baik sebuah organisasi dengan menyamar dan berlagak seperti salah satu dari kelompok organisasi tersebut dengan menggunakan bahasa ''gaul'' aktivis dakwah. Aneh memang, didepan publik memakai bahasa tersebut dan apalagi terlihat kekakuan dalam menggunakannya.

Saya sendiri baru memulai menggunakan bahasa ''gaul'' ini terhadap orang-orang yang ''akrab secara ruhiyah''. Selebihnya saya berbahasa ''gaul jakarta'' dengan orang yang lebih muda dan sebaya, yang mereka memang memakai bahasa tersebut. Untuk yang lebih tua dan umum, saya memakai Bahasa Indonesia, seperti yang saya lakukan dalam menulis Blog ini. Ini merupakan kebiasaan buat saya, karena saya sendiri pernah ''Nomaden'' berulang kali, ikut perpindahan dinas Ayah saya. Maka perbendaharaan kata saya cukup banyak. Tidak heran, jika saya berbicara dengan orang lain, kadang-kadang terbawa logat latar belakang lawan bicara saya layaknya seperti ''Bunglon''. Bukan muna' loh yah.... :D

Wallahu a'lam bishowab

(maaf tulisan ini diedit lagi, karena ada beberapa tulisan terhapus, dan harus ditulis ulang kembali jadinya :(, makanya ada banyak perbedaan penggunaan kata-kata... moga-moga tidak merusak maksud penulisan ini)

- mengamalkan sesuatu haruslah dengan pemahaman dan plus baik sangka, jangan hanya sekedar asal ikut-ikutan -

9 comments:

Anonymous said...

Ass wr wb, mau nambah aja...rasanya klo istilah 'ikhwan'&'akhwat' sdh jauh & tdk sesuai dg arti aslinya,yg berarti sdr lk/pr(jamak ).
Yg sy tangkap, umumnya mengartikan 'ikhwan'= muslim yg aktif dlm urusan dakwah keIslaman (spt kata teman sy,rata2 berjenggot, hehe..),sdgkan 'akhwat'= muslimah dg kondisi yg sama dg diatas (dg image, berjilbab lebar...klo yg jilbab imut2,jarang deh dsebut akhwat ).
Jd,kok sy merasa sptnya itu sdh bukan mrpkan kata2 panggilan,melainkan sebutan untuk pengklasifikasian tingkat keimanan...kenapa ya? jd bingung juga...

waterpoured said...

Hehehe iya neh... poin ini belum dibahas.
Sebenarnya tidak ada satupun manusia yang pantas dan mampu menilai tingkat keimanan ataupun akhlaq seseorang.
Orang yang sudah lama mengikuti suatu proses pembinaan (tarbiyah) belum tentu lebih baik tingkat keimanan dan akhlaqnya dibanding dengan yang pemula. Dan bukankah proses tarbiyah itu sifatnya berkesinambungan terus hingga akhir hayat. Bisa jadi sang pemula bisa menyusul bahkan mendahului seniornya... hehehe.. Disini letak ''pemahaman'' lebih utama didalam tarbiyah.
Lalu bukankah kita semua sesama muslim, yang memiliki kesatuan aqidah yang sama, adalah bersaudara.
Lagi pula tidak ada dalil (Qur'an dan Hadits) satu pun yang menyebutkan tentang memberikan predikat/gelar(panggilan) berupa ikhwan/akhwat pada seorang muslim.
Bukankah kita harus selalu nasehat menasehati dan mengajak dalam kebaikan, apalagi dengan muslim yang belum menjalankan syariah luar dalam (penampilan dan kepribadian).
Maka seperti didalam artikel sy... tidak sy masukkan adanya motivasi pembedaan tingkat kemampuan, karena memang tidak ada dasarnya dan tidak ada manfaatnya. Justru ini yang harus dihindari. Justru ini cikal bakal Riya'.
Maka sebaiknya seh panggilan itu hanya sebatas jadi bahasa ''gaul'' antar member program tarbiyah saja untuk motivasi-motivasi yang bermanfaat seperti yang sy tulis di dalam artikel. Jangan di''sakralkan'' dan jangan di''identikkan''... :)

- mengamalkan sesuatu haruslah dengan pemahaman, jangan hanya sekedar ikut-ikutan -

Jonru said...

Saya setuju jika bahasa gaul di kalangan aktifis dakwah itu dimaknai sebatas bahasa gaul, sebagaimana halnya bahasa gaul lainnya

tapi kita perlu ingat bahwa kelompok "aktivis dakwah" itu berbeda dengan kelompok batak, kelompok jawa, kelompok ABG, kelompok borjuis, dan seterusnya. Setiap kelompok ini tentu punya bahasa gaul masing2. Tapi ada yang membedakan kelompok aktivis dakwah di antara kelompok2 lainnya: Mereka adalah orang-orang yang secara sadar menugaskan diri sendiri untuk menjalankan fungsi dakwah di muka bumi ini.

nah, ketika bahasa gaul mereka ini membuat masyarakat merasa asing, merasa tidak akrab dengan para aktivis dakwah itu, lantas mereka menjauhkan diri, apakah bahasa gaulnya aktivis dakwah itu tidak justru menjadi kontraproduktif? bahasa gaul para aktivis dakwah justru menjadi penglalang bagi mereka untuk berdakwah.

wallahuaalam, maaf bila tidak berkenan.

waterpoured said...

Saya sedang berjalan bersama dua orang teman saya. Mereka pun bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa jawa, walau sebenarnya mereka tahu sendiri kalau saya adalah non jawa. Waktu itu sebel sekali rasanya.
Sama halnya pada saat saya pindah dari Ujung Pandang ke Jakarta. Kalo gak bisa bahasa gaul ''ABG'', saya bisa kena vonis ''social suicide'' :). Maka saya dipaksa dan terpaksa meninggalkan bahasa yag saya biasa pakai sebelumnya supaya bisa diterima.
Dari 2 kejadian ini, kini saya belajar untuk mengerti dan memakluminya menjadi suatu kewajaran yang terjadi dalam pergaulan hidup. Oleh karena itu kita harus bisa belajar menerima perbedaan.
Oleh karena itu saya mendefinisikan bahasa gaul para aktivis ini hanya sebatas untuk kalangan mereka saja dengan motivasi2 yang saya uraikan.
Jika tujuannya syiar, maka pakailah bahasa komunitas setempat dan dengan bahasa yang mudah dimengerti serta dengan kebaikan dan lemah lembut.
Sama halnya dengan bahasa musik sebagai analoginya. Ada pop, rock, alternatif, dangdut dan lain-lain. Ada beberapa munsyid mencoba mengambil pendekatan bahasa musik yang ''easy listening'' di telinga masyarakat untuk menyampaikan ajaran-ajaran islam dengan mudah (seperti pop, acapella, dan lain-lain), dan tentunya dengan batas-batas yang disyariatkan, tidak berkekurangan dan tidak berkelebihan.
Saya yang penyuka nasyid2 dari Shoutul Harokah dan Izzatul Islam, memahami nasyid yang mereka sajikan adalah untuk segmen para aktivitas dakwah saja atau para peminat tertentu yang bisa menerima.
Saya yg berada di jerman, sering diundang untuk pentas dalam halal bi halal menyanyikan persembahan nasyid, tidak ingin langsung memaksakan untuk membawakan nasyid-nasyid dari Shoutul Harokah atau Izzatul Islam. Bisa ''Stress'' para ''audience'' disini heheheh :D. Maka saya menyanyikan nasyid dengan aliran-aliran musik yang mereka sukai, sehingga moga dengan begitu jalan dakwah mulus insya Allah. Waktu itu saya mengambil aliran pop dengan hanya diiringi sebuah piano.
Terkadang memang menjadi ''bunglon'' dalam artian positif tapi bukan negatif bermaksud menjadi munafik :)
wallahu a'alam

Awan Diga Aristo said...

Assalamualaikum....

salam kenal mas.

Sangat menarik tulisannya

Dalam teori komunikasi, salah satu syarat terciptanya komunikasi yang baik adalah adanya kesamaan bahasa (secara denotatif yang penting bukan "sama"nya, tapi dalam hal "sama-sama paham"nya) antar pihak yang berkomunikasi.

Berhubung sejak TK sampai SMA saya bersekolah di sekolah swasta katholik, salah satu pola misionaris kristen dan katolik yang saya pelajari adalah : mereka dapat mencapai tempat2 terpencil sampai jauh di pedalaman afrika (kalau di Indonesia sampai ke pedalaman Papua) adalah karena begitu mereka sampai, yang mereka pelajari adalah bahasa setempat, dan mereka "berdakwah" dengan bahasa setempat tersebut...

Dan kalau saya boleh agak men-judge penggunaan bahasa gaul aktivis dakwah itu dalam aktivitas dakwah itu sendiri di Indonesia, justru menciptakan suatu barrier psikologis antara orang yang berdakwah dengan yang didakwahi... Dan secara lebih jauh, menciptakan elitisme atau ekslusifisme yang jsutru bisa kontraproduktif dengan kalangan yang tertarik pada dakwahan tersebut tetapi tidak faseh dalam berbahasa gaul itu...

bagaimana ya...

Tapi tulisan anda sangat menarik, karena dari yang saya perhatikan, tidak semua yang menggunakan bahasa itu ternyata benar2 mengerti apa yang mereka ucapkan... dan ada juga yang tidak berusaha untuk mengerti...

Anonymous said...

Assalamu'alaikum wrwb

Walopun ringan, tapi bahasan ini sangat menarik.. jadi inget sebuah conversation antara adik-kakak di jakarta dulu :p ngebahas tentang eksklusifitas penggunaan 'bahasa gaul'aktivis dakwah..tidak menyalahkan sih.. tapi terkadang seperti ada 'judgement'.. seperti yang diungkapkan komentator pertama..

semoga niat awal dalam menggunakan bahasa ini adalah seperti yang diungkapkan penulis dengan 3 motivasinya.. walopun begitu jangan sampai ada pengelompokan dikarenakan penggunaan bahasa gaul ini yang akhirnya malah menjadi suatu barrier dalam pergaulan bagi yang tidak or belum menggunakan bahasa gaul ini..

kalau menurut saya, menggunakan bahasa apapun asal tujuannya sampai pada yang diajak berbicara adalah sah-sah saja.. yang terpenting apa yang keluar dari mulut kira adalah perkataan yang baik-baik..

lebih kurangnya mohon maap

pisss ah

wassalam

waterpoured said...

makanya mas awan... tujuan dari penulisan ini harapannya adalah supaya bisa diketahui semua orang secara umum, baik bagi yang memakainya maupun yang tidak memakainya. Sehingga dari situ tercipta saling memahami dengan prasangka yang baik, layaknya saling memahami perbedaan bahasa daerah di tanah air.
Jadi yang memakai harus tahu sikonnya dulu kapan dan kepada siapa harus dipakai bahasa gaul itu, karena bisa jadi lawan bicara tidak mengerti dan merasa tersinggung. Yang tidak memakai harus bisa memakluminya, dan mencoba menegur dengan baik ataukah mencoba bertanya jika ada perkataan yang tidak mengerti.
Coba kalo mas awan berkenan silahkan baca entry saya mengenai ''Peran Bahasa Daerah Memperkaya Bahasa Indonesia untuk menjadi Pemersatu Bangsa''. Kalau kita ingin adil dan toleran, pakailah Bahasa Indonesia. Namun Bahasa Indonesia saat ini ternyata tidak semua orang di tanah air paham betul terutama yang di daerah. Karena sosialisasi yang kurang, maka sering terjadi kesalahpahaman antar etnis dalam berkomunikasi. Sebagai contoh: Orang sumatera kebanyakan ''ogah'' dipanggil dengan ''mas''. Dipikiran mereka langsung tergambar adanya usaha ''javanisasi'', yakni alergi semenjak ''penjajahan'' melalui program transmigrasi oleh pemerintah kompeni belanda. Padahal dalam bahasa Indonesia pendekatan yang baik dan adil adalah dengan memanggil ''Kak''. Dengan begitu tidak ada yang protes atau merasa diperlakukan dengan adil. Tapi kalau kita tidak memusingkan dipanggil maskah, bangkah, udakah, atau apakah, saya rasa tidak akan terjadi kesalahpahaman.
Maka pendekatan prasangka yang baik dan memahami perbedaan sangat perlu dalam berkomunikasi. Jadi tidak tiba-tiba ''alergi'' dan merasa tersinggung setelah mendengar lawan bicara memakai bahasa yang berbeda. Malah kadangkala yang merasa ''alergi'' ini justru juga malah mengekslusifkan diri jadinya (ketularankah?). Padahal kalau kita biasa-biasa aja dan menerima apa adanya, kita tidak akan jadi tersinggung atau jadi pusing dengan hal itu.
Sebagai contoh: saya pernah masuk suatu kelompok misalnya kelompok A... lalu didalam interaksi ada perbedaan, dan saya tidak terima beberapa hal yang berseberangan itu, lalu buru-buru saya keluar dan menjauh dan akhirnya malah membentuk kelompok A ''perjuangan''. Nah loh... yang eksklusif sekarang siapa dong... hehehehe :D

Kapan yah kita bisa saling memaklumi perbedaan, dengan melihat kesamaan aqidah kita. ( lagi mimpi.. :) )

Bagi yang tetap memkai bahasa gaul aktivis dakwah silahkan, bagi yang tidak silahkan, bagi yang tetap mekaki bahasa daerah silahkan, asalkan kita bisa menerima perbedaan tersebut.

wallahu a'alam
maaf jika tidak berkenan
Terima kasih kepada semua, karena bahasan ini makin lama makin kaya alhamdulillah, moga bisa dibaca oleh siapa saja dan bermanfaat kelak.

waterpoured said...

alhamdulillah... akhirnya ketemu juga kata ''afwan'' di Al Qur'an>>> QS Al A'raf 199... secara literal artinya ''ambil kelebihan''... namun secara konteks ayat artinya ''pinta maaf''

Unknown said...

Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan kata ikhwan dan akhawat ditujukan untuk lelaki bertakwa dan perempuan bertakwa. Misal, teman saya bilang, "yang tinggal di sini akhwat2x." Ada pula yang bilang, "Dia akhwat atau bukan kan?" Ada juga yang bilang, "Dia tu ikhwan lho...." Dsb....

Secara bawah sadar, itulah yang kita pahami meskipun pada formalnya orang kerap berdalih bahwa kata tersebut tidak ekslusif.

Kadang pula, kata-kata ikhwan dan akhwat dipahami sebagai arti laki-laki dan perempuan... bukan dalam arti saudara laki-laki maupun perempuan. Misal, di masjid: "Tempat Wudlu Ikhwan (Pria), Tempat Wudlu Akhwat (Perempuan)"